Gadis itu menunduk lesu sambil berjalan menyusuri trotoar dekat sekolahnya. Bus pun melaju dengan kencang, dia tak memperhatikan akhirnya tertinggal, Gadis itu duduk di halte dengan raut wajah lusuh sambil memandangi selembar kertas yang dipenuhi dengan angka merah, hanya beberapa tinta hitam saja yang menunjukkan nilainya cukup. Suasana sore itu sangat ramai, banyak siswa keluar dari gerbang SMA tempat Gea biasa gadis itu dipanggil, untuk belajar.
“hujanlah!” Gea bergumam sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya bergantian kanan dan kiri. Matanya menatap lekat awan hitam yang menyelimuti langit kota tua itu.
“sedang menunggu hujan? Cuaca sedang tidak bersahabat, jadi sulit untuk menebak-nebak turunnya hujan” Denis duduk di sebelahnya. Gea berbalik memalingkan pandangan pada Denis, Denis tersenyum padanya. Dia hanya diam dan mengalihkan pandangan ke jalan raya yang semakin sepi itu
“itu daftar nilaimu untuk ujian semester ini?” Denis mencoba meraih daftar nilai itu tapi Gea menolak dan langsung memasukkannya ke dalam ranselnya. Gea berdiri dan berjalan tanpa tujuan. Denis melihatnya aneh, dia mengejar Gea dan seiring dengan itu Bus yang mereka tunggu pun datang. Gea segera mengajak Denis untuk naik bus tersebut.
Sesampainya dirumah
“Sudahlah ayah, percuma kalau seperti ini terus!!!” terdengar suara-suara yang tak asing bagi Gea. Hampir setiap hari orangtuanya cek cok, entah ada saja hal yang diributkan. Menurutnya itu sangat kekanak-kanakan. Beberapa vas bunga yang baru Gea beli dari toko bunga langganannya terlihat sudah berupa kepingan-kepingan kaca tak berharga berserakan di lantai, kedua orangtuanya berada di kamar, pintu kamar sedikit terbuka tapi Gea bersikap acuh. Dia sudah merasa sangat bosan dan terbebani sebagai anak tunggal. Bukan kasih sayang yang ia dapat melainkan keadaan menyesakkan seperti itu terus saja menyelimuti hidupnya.
“aku pulang” sapa Gea sambil berhenti sejenak sebelum menaiki anak tangga pertama menuju kamarnya. Tetapi orangtuanya tak menghiraukan.
Gea membuka ranselnya mengeluarkan seberkas amplop besar dengan beberapa lembar kertas putih di dalamnya. Perlahan-lahan Gea membuka dan membacanya dengan teliti. Tanpa disadari matanya memerah dan air mata menetes membasahi pipinya. Air matanya susah sekali ditahan, apalagi untuk dihentikan, Gea melempar tubuhnya di atas kasur empuk di kamarnya. Ia menutup seluruh bagian wajahnya dengan bantal dan menangis terisak-isak.
Pagi pun menjelang.
Langkah kakinya begitu berat menuruni tangga, dia berpegangan kencang pada besi yang memagari tangga itu. Dengan seragam lengkap dia melihat Bi Inah sedang membereskan pecahan-pecahan vas bunga kesayangannya. Lalu beliau berbalik tersenyum pada Gea.
“Selamat Pagi, Non Selamat ulang tahun yang ke 18 tahun yah?”
Bi Inah begitu perhatian sampai ulang tahun Gea pun Bi Inah selalu ingat
“Terimakasih Bi..” Gea mempercepat jalannya dan memeluk Bi Inah yang sudah dia anggap ibu keduanya.
Lalu Gea masuk ke kamar orang tuanya, namun tak dilihatnya.
“Ibu sama Bapak sudah berangkat kerja, Non”
“Apa tidak meninggalkan apa-apa, Bi?” Gea memastikan
“Hmm sepertinya tidak, Non, mungkin mereka terburu-buru” Gea menunduk, lalu keluar sambil menaikkan ranselnya tinggi-tinggi dan berlari keluar gerbang rumah
Sambil berlari, “Saya berangkat, Bi!”
“Hati-hati, Non!”, sahut Bibi
Di jalan menuju sekolah dia melihat pedagang bunga keliling, bunga yang ditawarkan terlihat segar sekali, Gea berhenti dan memilah-milah bunga mawar dan memilih satu bunga yang kelopaknya sempurna. Gea memang sangat suka dengan bunga mawar merah.
“gea, lagi ngapain kamu?” Rina, sahabatnya menegur dan mengajaknya masuk ke kelas. Gea tersenyum dan berjalan beriringan dengan Rina, Rina tahu betul bagaimana hidup yang Gea lalui, pahit ataupun manisnya.
Denis terlihat memandangi mereka dari jauh, Gea tersenyum pada Denis. Denis pun membalas senyum Gea, meskipun Mereka bertiga berbeda kelas tapi mereka selalu bersama.
Pada jam Istirahat, Gea berjalan diiringi Rina sahabatnya. Sambil ngobrol sepanjang jalan dekat lapangan basket menuju taman sekolah, Denis tampak di Lapangan Basket sedang bermain basket. Ia tersenyum pada Gea dan Rina, tiba-tiba muka Gea memucat pandangannya kabur, es krim yang ia bawa terjatuh dan Gea pun terjatuh ke lantai. Denis langsung berlari dan menggendongnya, Rina panik dia mengikuti mereka ke UKS.
“Kamu kenapa?” Denis bertanya, Gea terlihat masih lemas walaupun sudah sadarkan diri
“Mungkin kecapean” jawabnya
“Kamu udah sarapan belum?” tanya Rina
“Udah kok”
“Jangan bohong!” denis menimpali
“Gak sempet sarapan”
Gea seringkali terlihat pucat dan semakin hari semakin kurus saja. Beberapa kali terjatuh dan tak sadarkan diri. Dia menyembunyikan sesuatu yang tak satupun orang tahu kecuali seorang dokter Rumah sakit, dimana gea pernah dirawat disana karena penyakit typusnya sewaktu SD.
Dua bulan berlalu, sepulang sekolah Denis menyambangi kelas Gea.
“Mau pulang bareng?” ajak Denis pada Gea yang terlihat keluar dari kelas
“Boleh”jawabnya singkat, Denis mencuri pandang pada Gea. Ia memperhatikan gadis manis yang selalu mengikat rambutnya menjadi satu dengan gaya
boyishnya, seorang Gea yang berdandan apa adanya kurang sesuai dengan kepribadiannya yang lembut, pendiam, dan penyuka bunga itu. “benar-benar pribadi yang unik” kata Denis dalam hati.
Tiba-tiba Gea merasa kepalanya pening sekali, tubuhnya mendadak panas, darah segar menetes dari hidungnya menodai seragam putih abu-abunya, Gea langsung menutup hidungnya dengan tangan kanannya. Denis kaget, dia langsung mengusap hidung Gea yang penuh darah dengan sapu tangannya yang masih sangat bersih itu.
“Gea, hidung kamu kenapa berdarah?” Denis menuntun Gea dan mengajaknya duduk.
“Tidak apa-apa, tenang saja”
Denis memaksanya cerita apa yang sebenarnya terjadi, tapi Gea tetap bungkam.
Beberapa hari kemudian, orangtua Gea resmi bercerai. Sehari berikutnya Gea tak masuk sekolah. Denis dan Rina mencari-cari Gea di kelas tapi tak ketemu. Pulang sekolah Denis mencari toko bunga langganan Gea dan membeli 18 bunga mawar merah wangi yang tentunya akan diberikan pada Gea.Namun begitu Denis menghentikan motornya, terlihat bendera kecil berwarna kuning tertiup angin di depan rumah Gea, rumahnya terlihat lebih ramai dari biasanya tapi tak ada sedikit pun senyum yang Denis lihat dari semua tamu yang berdatangan.
Denis masuk rumah itu dan bertemu dengan kedua orangtua Gea tampak Ibu Gea menangis histeris di pelukan Ayah Gea.
“Tante, selamat sore, ini ada apa yah?” Denis melihat sekitar dengan tampang bingung
“Gea.. meninggal Deniiiiiss” isak tangis mewarnai rumah mewah itu, Ibu Gea semakin histeris hingga beberapa menit kemudian tak sadarkan diri, Denis masih merasa tak percaya, bunga mawar yang ia genggam terjatuh ke lantai, air matapun mengucur deras di wajah manisnya. Ia langsung berlari menuju kamar Gea dan nampak tubuh Gea terbaring kaku Denis membaca kertas putih diatas meja di kamar gea yang penuh dengan informasi dari Rumah sakit dimana dijelaskan kalau gea mengidap penyakit leukimia stadium akhir, Denis tersungkur ke lantai menekuk kedua kakinya, lututnya menutupi wajahnya yang lebam dan basah karena air mata.
Otaknya memutar ulang cerita singkat yang indah bersama Gea semenjak mereka kecil dulu. Teringat jelas saat mereka berlarian bersama di taman kanak-kanak
“Gea, jangan tinggalin aku yah! Kamu janji kan gak akan lari jauh dari aku? Aku mau main terus sama kamu” pinta Denis kecil
“Iya Denis, aku janji!” jawab Gea dengan senyuman khasnya, jari kelingking kedua bocah itu pun berpaut diiringi tawa mereka, kemudian mereka pun berlari lagi.
Denis memandang kosong kertas itu.
“Sekarang kamu lari dari aku, kamu pergi jauh ninggalin aku. Belum sempat aku mengatakan kalau aku sayang sama kamu, kamu mawar paling harum dihatiku, Gea” gumamnya.
::tamat::